Pindah tugas atau mutasi adalah problem klasik yang dirasakan oleh para hakim. Meskipun mutasi itu besar kemungkinan karena promosi jabatan tetap saja kalau tidak siap menyikapinya akan menjadi kendala tersendiri. Pasalnya, dampak dari mutasi tersebut bukan saja dirasakan oleh hakim namun juga keluarga, khususnya anak yang masih sekolah.
Karena itulah, saat dinyatakan diterima sebagai calon hakim, saya dan isteri berusaha untuk memantapkan diri. Kami pasrah dan tidak begitu berharap ditempatkan di manapun. Dengan begitu, kami tidak pernah keberatan untuk ditempatkan di manapun. Sebab, tempat yang baru bukanlah hambatan. Tetapi tantangan untuk melatih diri beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda.
Betapapun demikian tentu kami harus sadar diri. Sebab, kami memang belum punya tanggungan anak. Sehingga, relatif mudah ketika harus berpindah tugas. Ditambah lagi, isteri bukan seorang pekerja tetap/kontrak sehingga juga fleksibel untuk mengikuti kepindahan saya. Artinya, ketika nanti kami memiliki anak tentu harus menyiapkan mental yang lebih guna menghadapi mutasi.
Penting dicatat bahwa hakim termasuk profesi dengan mobilitas tinggi. Paling tidak 3-5 tahun akan terkena giliran mutasi. Bahkan ada yang lebih cepat dari itu. Mutasi tersebut tentu memiliki tujuan yang baik. Yaitu agar hakim tidak lantas sangat “dekat” dengan masyarakat sehingga mempengaruhi imparsialitasnya sebagai seorang hakim. Dengan frekuensi mutasi yang tinggi tentu hal itu dapat diantisipasi.
Pentingnya Growth Mindset
Menyikapi hal tersebut, penting kiranya bagi seorang hakim untuk memahami makna growth mindset. Growth mindset adalah pola pikir yang tumbuh/berkembang. Pola pikir ini justru menginginkan adanya perubahan secara terus-menerus. Pasalnya, pribadi yang tipikal yang demikian selalu butuh tantangan. Tidak terlena dengan kemapanan (comfort zone).
Lawan dari growth mindset adalah fixed mindset. Bila growth mindset justru merindukan kebaruan, fixed mindset justru enggan untuk beranjak dari rutinitas dan hal yang sama. Seorang hakim yang berat untuk menerima kenyataan mutasi barangkali adalah mereka yang “terhinggapi” virus fixed mindset. Sementara mereka yang justru nyaman dengan mutasi adalah yang sudah mengakrabi growth mindset.
Dari situlah penting kiranya untuk menanamkan pentingnya growth mindset dan belajar bertindak berlandaskan pola yang positif tersebut. Bila hal tersebut dapat dilakukan maka kepindahan bukanlah menjadi soal. Tetapi justru dirindukan sebagai tantangan untuk maju dengan pengalaman yang baru. Bahwa kepindahan adalah media untuk lebih mengarifi kemajemukan bangsa.
Seorang motivator nasional pernah berujar. Bila kita ingin bahagia maka tinggalkanlah hal-hal yang membuat kita tidak bahagia. Hal ini dapat kita analogikan dengan konsep mental di atas. Saat kita ingin mengasah growth mindset kita maka kita harus berani meninggalkan pola pikir lama yang terjebak dalam kenyamanan yang justru memenjarakan kreativitas.
Terakhir, izinkan saya berpesan kepada para calon hakim yang sekarang sedang menjalani habituasi di satuan kerjanya masing-masing. Mari kita tanamkan keikhlasan yang maksimal untuk profesi hakim yang mulia ini. Bahwa saat kita menyatakan diri siap mengabdi maka kita juga harus siap menerima “ujian” untuk ditempatkan di belahan bumi pertiwi manapun. Semoga Allah selalu memberkati. []
Samsul Zakaria, S.Sy.,
Calon Hakim di Pengadilan Agama (PA) Tanjung,
Alumnus Universitas Isam Indonesia (UII) Yogyakarta