Bila hidup adalah potongan puzzle yang saling terkait hingga membentuk pola tertentu maka paling tidak saya punya kepingan cerita hatta akhirnya takdir menghantarkan saya menjadi seorang (calon) hakim. Kisah itu tentang cukup seringnya saya diminta menjadi hakim debat, baik bahasa Arab ataupun Indonesia. Dan harus diakui bahwa menjadi hakim atau juri sebuah perdebatan bukanlah perkara mudah. Banyak aspek yang harus menjadi pertimbangan sampai akhirnya memutuskan siapakah yang akan keluar sebagai pemenangnya.
Aturan penilaian debat di Indonesia relatif beragam. Namun belakangan nampaknya sudah mengarah kepada penyeragaman meskipun secara bertahap. Hal ini seiring dengan keikutsertaan Indonesia dalam kompetisi level ASEAN di Malaysia. Penting dicatat bahwa Malaysia sudah memiliki aturan yang baku dalam debat, baik bahasa Melayu maupun Arab. Sementara di Indonesia kompetisi debat menjamur dimana-mana. Namun sayangnya, masing-masing penyelenggara memiliki kebijakan aturan sendiri.
Salah satu hal mencolok yang pernah saya alami dalam dunia perdebatan di tanah air yaitu jumlah hakimnya dua orang saja. Sementara aturan ideal majelis hakim debat harus berjumlah ganjil, mulai dari 3 hakim, 5 hakim, 7 hakim, dan 9 hakim—sebagaimana yang terjadi di final debat di Qatar Debate. Dalam kondisi jumlah hakim tidak mencukupi maka dimungkinkan 1 orang yang biasa disebut supreme judge. Dalam konteks supreme judge diutamakan hakim senior sehingga meskipun sendiri dapat memberikan penilaian yang komprehensif dan berkeadilan.
Jumlah hakim ganjil tersebut dimaksudkan supaya tidak terjadi kesulitan untuk menentukan pemenang ketika majelis hakim berbeda pendapat. Pasalnya masing-masing anggota memiliki independensi dalam memberikan penilaian. Tentunya berdasarkan kriteria yang disepakati mulai dari aspek substansi argumentasi (matter), teknik dan strategi berdebat (method), dan tata krama (manner). Dengan komposisi majelis hakim yang ganjil maka saat terjadi perbedaan pendapat diambillah pendapat mayoritas.
Dalam dunia peradilan, pendapat hakim yang berbeda disebut dengan dissenting opinion (ar-ra’yu al-mukhālif). Ada perbedaan antara konsekuensi dissenting opinion dalam dunia peradilan dan dunia perdebatan. Dalam konteks peradilan, dissenting opinion harus disertakan dalam putusan secara lengkap. Sementara dalam konteks perdebatan, dissenting opinion tidak disampaikan dalam pengumuman kemenangan. Ia hanya menjadi pembeda kemenangan dari 3-0 (telak) menjadi 2-1 yang maknanya dua hakim saja yang memberikan kemenangan.
Malaysia vs Qatar
Berdasarkan pengalaman menjadi hakim debat di Malaysia dan Qatar, saya mendapati satu perbedaan dalam menarik. Dari sisi konsep tertulis sebenarnya kurang lebih sama namun yang berbeda adalah dari sisi praktiknya. Konsep dimaksud bahwa hakim tidak boleh saling mempengaruhi dalam hal penilaian. Masing-masing hakim memiliki hak yang independen dalam menentukan tim yang menang. Ketika perdebatan usai maka usai sudah masalah. Selanjutnya hanyalah musyawarah (tanpa berdebat) untuk memberi catatan-catatan secara umum atas jalannya perdebatan.
Sementara di Qatar—yang saya temui April 2017 lalu—kondisinya berbeda. Setelah saya menentukan bahwa yang menang adalah tim tertentu maka saya harus memberikan alasan-alasan mengapa pilihan tersebut saya ambil kepada ketua majelis. Dalam situasi ini yang terjadi adalah kami sebagai hakim debat pun sedang berdebat dalam menentukan pemenang debat. Dan akhirnya saya dan anggota hakim lain harus mengalah dan mengubah keputusan kami. Inilah satu kejanggalan yang tidak pernah saya jumpai selama menjadi hakim di Malaysia.
Fakta yang saya temui tersebut tidak saya telan mentah-mentah. Saya mengklarifikasikannya kepada rekan dari Malaysia yang juga menjadi juri debat Arab di Qatar. Ia pun mengamini dan menegaskan itulah perbedaan debat Arab di Malaysia dan Qatar. Namun demikian saya yakin perbedaan tersebut tidak otomatis dapat digeneralisir. Barangkali di majelis hakim lain cukup fair dan taat pada aturan yang sudah disepaki. Dan boleh jadi debat yang saya alami itu terjadi karena saya masih junior sementara yang mendebat saya adalah senior, native, dan bergelar doktor.
Prestasi Indonesia
Lepas dari “perdebatan” hakim debat tersebut, kita patut berbangga atas prestasi Indonesia di panggung internasional. Indonesia yang diwakili oleh 4 santri Tazkia International Islamic Boarding School (IIBS) Malang dinobatkan sebagai juara pertama 4th International School Arabic Debating Championship (kategori non-native) di Qatar, Rabu (11/4/2018). Nampaknya kita tidak perlu berdebat untuk mengakui prestasi para santri tersebut. Santri yang semuanya perempuan itu adalah “pahlawan” bangsa dan Kartini masa kini yang mengharumkan Indonesia di pentas global.
Sebagai mantan hakim debat yang saat ini menjalani proses menjadi hakim di lingkungan peradilan agama izinkan saya mengucapkan beribu-ribu selamat, alfa alfi mabrūk, kepada para santri yang telah meraih prestasi. Juga teruntuk pembimbing, para guru, orang tua, dan rakyat Indonesia atas dukungan dan doanya. Atas prestasi yang istimewa tersebut, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) memberikan apresiasi berupa sertifikat dan uang pembinaan sebesar 30 juta.
Prestasi tersebut semakin luar biasa dimana 3 dari 4 santri Tazkia IIBS Malang tersebut dinobatkan sebagai afdhal mutahaddits (best speaker) pertama, kedua, dan ketiga untuk kategori non-native (li ghairi an-nāthiqīn bihā). Mereka telah melewati “ujian”, dinilai oleh para hakim debat dimana para hakim itu pun mungkin juga telah berdebat ketika menilai penampilan mereka. Melawan tim dari Pakistan di partai final, kemampuan mereka dalam berdebat telah merebut hati para hakim hingga mereka berhasil menjadi jawaranya. Selamat!
Samsul Zakaria, S.Sy.
CPNS/Calon Hakim di Pengadilan Agama (PA) Tanjung,
Trainer Debat Arab Universitas Islam Indonesia (UII) 2015-2018